TAWADLU'/RENDAH HATI.



”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.


وَعِبَا دُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَ رْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَا طَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَا لُوْا سَلٰمًا

"Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, salam," (QS. Al-Furqan 25: Ayat 63).

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مَنْ ذُكِرْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَّيَّ دَخَلَ النَّارَ.

”Barang siapa disebutkan namaku tapi tidak membacakan shalawat atasku maka ia masuk neraka.”

Karena membaca shalawat untuk Nabi ketika disebut namanya adalah wajib, demikian pendapat At-Thohawi.

Sebagian ulama berpendapat: ”Cukup membaca shalawat sekali saja bila mendengar nama Muhammad disebut dalam Majlis walaupun ia disebut berulang-ulang”. Seperti halnya mendo'akan orang-orang yang bersin. Tapi yang lebih baik adalah mengucapkan setiap disebut nama Muhammad.

Rasûlullâh ﷺ bersabda: bahwa Allah berfirman:

اَلْكِبْرِيَاهُ رِدَالِىْ وَالْعَطَمَةُ اِزَارِىْ، فَمَنْ نَازَعَنِى فِيهِمَا اٍَلْقَيْتُهُ فَي النَّارِوَلَا اُبَالِى.

”Sombong adalah merupakan selendang-Ku. Keagungan adalah merupakan sarung-Ku, barang siapa yang merobeknya atau merebutnya, maka akan Aku campakkan ia dalam api neraka dan tidak akan Aku perhatikan.”

Maksud dari hadits ini adalah, bahwa bahwa kesombongan dan keangkuhan adalah sifat Allah, maka adalah tidak pantas bila hamba yang lemah akan sombong dan angkuh.

Ada tiga orang yang tidak diajak berbicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak pula diperhatikan. Baginya adalah siksaan yang sangat pedih. Mereka ialah: Orang tua yang berzina, Raja yang khianat, orang kafir yang sombong.

Orang yang tidak mampu memberi nafkah kepada keluarganya, tapi sombong tidak mau meminta, serta tidak mau menerima zakat atau shadaqah ataupun dan dari baitul maal karena sombong, maka berdosalah ia karena dengan demikian akan dapat mendatangkan bahaya bagi keluarganya.

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مَنْ تَوَا ضَعَ رَفَعَهُ اَللّٰهُ، وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اَللّٰهُ.

”Barang siapa yang merendahkan diri, Allah akan menyambutnya dan barang siapa yang sombong maka Allah akan meremehkan dan merendahkan.”

Pada hadits yang lain juga Rasûlullâh ﷺ bersabda:

لَايَدْ خُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِىْ قَلْبِهِ مِشْقَالُ ذَرَّةٍ كِبْرٍ .

”Tidaklah masuk surga orang-orang yang di dalam hatinya terdapat sombong walaupun sebesar atom.”

Sifat sombong itu dapat menghalangi jalan masuk surga, sedangkan sifat takabur merupakan pemisah antara hamba dengan akhlak orang-orang yang beriman semuanya. Sedangkan akhlak itu merupakan pintu surga.

Di antara tanda dari pada sifat merendahkan diri adalah seorang laki-laki yang mau meminum bekas dari pada saudaranya. Maka pahala bagi dirinya adalah tujuh puluh kebagusan, dan dihapus tujuh puluh kejahatan, dan diangkat ke derajat yang lebih tinggi.

Ada beberapa pekerjaan yang dapat menimbulkan sifat rendah hati, yaitu: mengembala kambing, naik himar, memakai kain dari bulu, duduk bersama-sama orang kafir, dan makan bersama mereka dan keluarganya. Hasil yang akan dicapai dari pada sifat tawadlu' adalah agar kamu mau membacakan salam kepada siapa yang kamu jumpai.

Rasûlullâh ﷺ bersabda:

مَنْ خَصَفَ نَعْلَهُ وَرَفَّعَ ثَوْبَهُ غَبَّرَ وَجْهَهُ لِلّٰهِ فِى السُّجُوْدِ فَقَدْ بَرِئَ مِنَ الْكِبْرِ .

”Barang siapa yang mau menjahit sandal dan pakaiannya serta mau mengotori wajahnya dengan debu karena Allah dalam sujud, maka ia telah lepas dari sifat takabur.”

Qoisin bin Hazmin berkata: ”Tatkala Umar bin Khattab pergi ke Syam naik onta bersama dengan pembantunya. Maka dengan bergiliran, bila Umar naik maka pembantunya yang memegang tali, dan bila pembantunya yang naik maka Umar yang memegang talinya, begitu seterusnya sampai di tempat yang dituju. Ketika sampai di Syam datanglah giliran Umar yang menarik tali, dalam perjalanan tersebut Umar memegang tali onta dan mengempit sandalnya di bawah ketiak yang kiri.

Dalam perjalanan seperti ini Abu Ubaidah Gubernur Syam mengetahuinya dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin, para pembesar Syam telah keluar untuk menjemput anda, maka tidaklah pantas bila mereka melihat anda seperti ini." Umar berkata: "Sungguh dengan sebab Islam kita telah mulia, maka tidak peduli dengan omongan orang."

Diriwayatkan bahwa Muthorif melihat Mahlab bertingkah sombong dalam memakai jubah, maka Mutharif menegurnya, "Hai hamba Allah, sesungguhnya jalanmu yang seperti itu tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. "Mahlab: "Tidakkah engkau tahu siapa saya?" Mutharif menjawab: "Yah, saya tahu siapa anda, anda adalah mani yang kotor dan akhir anda adalah bangkai busuk yang menjijikkan, dan lagi pula bahwa di antara keduanya adalah kehidupan di mana anda membawa kotoran." Kemudian Mahlab terus berlalu dan bertobat.  

Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa ketika Rasûlullâh ﷺ hijrah ke Madinah. Maka sewaktu memasuki kota Madinah segera para pemuka dan jutawan Madinah segera menghampiri dan menarik tali himar beliau. Maka Rasûlullâh ﷺ bersabda: "Biarkan mereka berjalan sendiri karena ia telah mendapat perintah dari Allah. Mereka pun melepaskan tali tersebut, dan himar pun berjalan sendiri melalui para pengawal sehingga setiap melalui rumah penduduk mereka bersedih dan berkata dalam dirinya: "Andaikan Rasûlullâh berkenan singgah di rumah kami, maka bahagialah kami dan keluarga kami."

Setelah sampai di depan pintu rumah Abu Ayub Al-Anshory, himar tersebut berhenti dan mendekam. Mereka pun segera berusaha membangkitkan agar berjalan, tapi unta tersebut tidak juga mau bangun, kemudian turunlah Jibril dan berkata: "Hai Muhammad turunlah disini karena sesungguhnya dia (pemilik rumah) sangat tawadlu' sekali ketika engkau memasuki kota Madinah."

Penduduk Madinah pun segera berusaha memperbaiki rumah Abu Ayub Al-Anshory dan membersihkannya seraya berkata: "Sebaiknya Rasûlullâh singgah di rumah kami saja." Abu Ayub sendiri berkata: "Aku adalah orang yang fakir mana mungkin Allah menetapkan Rasûlullâh untuk singgah di rumahku." Maka Allah memerintahkan Nabi untuk segera singgah di rumahnya. Ada pun mengapa rumah Ayub sebagai tempat singgahnya adalah karena pemilik rumah tersebut sangat tawadlu'.

Diriwayatkan oleh Wahab bin Munabbih bahwa seorang laki-laki dari bani Israil selalu beribadah kepada Allah selama tujuh puluh tahun tidak berhenti kecuali hanya beberapa tahun saja. Pada suatu ketika mereka berdo'a kepada Allah tapi Allah tidak mengabulkannya dan Allah berfirman; "Hai anak Adam, tawadlu' adalah lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh tahun." Maka kepada para pembaca, jadikanlah hal ini sebagai i'tibar dan jadilah orang-orang yang tawadlu'.

Diriwayatkan oleh Ka'ab Al-Ahbar bahwa Allah Ta'ala berfirman kepada Musa as.: "Wahai Musa apakah engkau mengerti mengapa Aku berbicara langsung kepadamu."
Musa: "Engkau Maha Tahu tentang itu semua."
Allah : "Aku mengetahui setiap hati manusia, tapi tidak pernah melihat hati yang lebih tawadlu' seperti hatimu, karena itulah Aku berbicara langsung."

Dikatakan bahwa ada enam benda yang bertawadlu' kepada Allah, sehingga Allah mengangkat dan meninggikan derajatnya, enam benda tersebut adalah:  

  1. Gunung: ia adalah menjadi dan tinggi ketika Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku telah mendaratkan perahu Nuh dan seisinya di atas sebuah gunung dari antara kamu sekalian."

  2. Gunung Tursina, adalah salah satu yang tidak meledak yang di sebabkan karena tawadlu', sedangkan gunung yang lain meletus.

  3. Ikan Yu, adalah ikan yang paling tawadlu', ketika mendengar Allah akan memasukkan Yunus pada perut ikan, dimana semua ikan telah takabur mendengar berita tersebut, kecuali ikan Yu yang tidak takabur.

  4. Semua barang merasa takabur ketika Allah berfirman bahwa Allah akan menaruh obat pada paruhnya, hanya satu burung saja yang tidak takabur dan dialah yang diberi obat pada paruhnya karena sifat tawadlu'.

  5. Kedudukan Nabi Muhammad di atas segala Nabi-Nabi adalah karena sifatnya yang sangat tawadlu'.

  6. Orang mukmin yang sangat tawadlu' akan mendapat pahala dari Allah.

مَنْ اَكْرَمَ عَالِمًافَقَدْ اَكْرَمَ مُتَعَلِمًا فَقَدْ اَكْرَمَ سَبْعِيْنَ سَهِيْدًا، وَمَنْ اَحَبَّ الْعَالِمَ لَاتُكْتَبُ عَلَيْهِ حَطِيْـئَتُهُ اَيَامَ حَيَاتِهِ .

"Barang siapa yang memuliakan orang alim, maka seperti menghormati tujuh puluh Nabi, dan barang siapa menghormati guru, maka ia telah menghormati tujuh puluh orang alim, maka selama hidupnya tidak akan ditulis kesalahannya.

🙏


Sumber: Buku butir-butir MUTIARA HIKMAH.
Terjemah Dari Kitab ”DURRATUN NASIHIN” Karya Usman bin Hasan bin Ahmad Asy Syakir Al Khaubawiyyi.

PENGERTIAN HAKIKAT.





”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.


HAKIKAT

Istilah bahasa hakikat berasal dari kata "Al-Haqq", yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma'ruf mengingatkan :

"Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan ...sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya".

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

"Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan, disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada hamba-Nya".

Hakikat yang didapatkan oleh Sufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;

2) "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

3) "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Sufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal".

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Sufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan makrifat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan makrifat merupakan tujuan akhirnya.

Sedangkan Haqiqah secara etimologi berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu, dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari`ah yang bersifat lahiriah, yaitu batiniah, sehingga rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syariah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh orang sufi.

Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan  Hakikat dalam Tasawuf hakikat adalah imbangan kata syariat yang identik dengan aspek kerohanian dalam ajaran Islam. Untuk merintis jalan mencapai hakikat seseorang harus memulai dengan aspek moral yang dibarengi aspek ibadah.

Bila kedua aspek ini diamalkan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan akan dapat meningkatkan kondisi mental seseorang dari tingkat rendah secara bertahap ke tingkat yang lebih tinggi. Pada posisi tertinggi Tuhan akan menerangi hati sanubarinya dengan nur-Nya, sehingga ia betul-betul dapat dekat dengan Tuhan, mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata hatinya.

Syech Yusuf al-Makasary, telah membagi kiblat maqam terdapat 4 macam :

1.Kiblat Amal disebut kiblat orang-orang awam (ahli syariat), seperti misal: bagi orang awam tidak sah sholat apabila tidak menghadap arah ke kiblat masjidil haram  

2.Kiblat ilmu disebut kiblat orang-orang khusus (al-khawas), sebagaimana

Allah SWT berfirman:

وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَا لْمَغْرِبُ فَاَ يْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ

"Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 115)

3.Kiblat al-sirr disebut kiblat khususnya orang khusus atau ahli hakikat-makrifat ( akhas al-khawas), kiblat ini adalah kiblat rahasia yang meliputi segala sesuatu yang tampak, dalam segala sesuatu, atas segala sesuatu, menurut segala sesuatu, bersama segala sesuatu, kepada segala sesuatu dan Dialah Segala sesuatu itu.

4.Kiblat Tawajjuh, adalah kiblat yang ada di hati sanubari dan sejajar dengan hakekat hati, yang telah diisyaratkan dalam sebuah Hadits “ Hati seorang Mukmin adalah Arsyullah”.Sebagian ulama sufi menyatakan “ Hati itu ghaib, al-Haq juga ghaib, sehingga yang ghaib lebih layak dengan pendekatan yang ghaib pula. Apabila orang telah sampai pada keadaan ini, maka dia termasuk orang bebas.
Di kalangan Sufi orang yang telah mencapai tingkatan ini disebut ahli hakikat. Kalau dihubungkan dengan Tuhan, hakikat adalah sifat-sifat Allah SWT, sedangkan Zat Allah disebut al-Haqq. Sufi yang dikenal dengan faham hakikat adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj yang pernah menyatakan “Ana al-Haqq”.

Pembicaraan mengenai masalah ini tentu tidak bisa dilepaskan dari konsep Ittihad, Hulul dan Tawhid yang dalam pemahaman selintas dapat diartikan sebagai penyatuan makhluk dan Khalik. Para ulama Syari’at dalam Islam memandang konsep ini bertentangan dengan Islam.

Oleh karena itu sebagaimana diketahui al-Hallaj mati dibunuh karena mempunyai faham Hulul dan seperti di Jawa Syekh Siti Jenar juga mengalami hal serupa. Kaum Sufi yang mempunyai faham ini kelihatannya merasa takut untuk membicarakan Ittihad, Hulul dan Tawhid. Karena itulah uraian tentang hal ini hanya dijumpai dalam karangan-karangan modern dan tulisan-tulisan para Orientalis.

Ittihad adalah satu tingkatan dalam Tasawuf ketika seorang Sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Saat itulah terjadi penyatuan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam kondisi Ittihad seperti inilah satu sama lain dapat memanggil Ya Ana (wahai aku). Meskipun yang terlihat hanya satu wujud pada hakekatnya terdapat dua wujud yang berbeda.

Adapun Hulul berarti menempati atau mengambil tempat. 

Dalam Tasawuf, Hulul berarti suatu keadaan (hal) yang dicapai seorang Sufi ketika aspek an-nasut (sifat kemanusiaan) Allah SWT bersatu dengan aspek al-Lahut (sifat ketuhanan) yang ada pada manusia. 

Hulul merupakan salah satu bentuk kebersatuan antara Allah SWT dan manusia. Kondisi ini dapat terjadi apabila manusia dapat mencapai Fana’ dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan yang dimilikinya sehingga yang tersisa hanyalah sifat-sifat ke-Tuhanannya.

Sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution bahwa sebelum seorang Sufi dapat bersatu dengan Tuhan ia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam Tasawuf disebut Fana’.

Penghancuran diri dalam Fana’ ini senantiasa diiringi dengan Baqa’ yang berarti tetap atau terus hidup. Fana’ dan Baqa’ merupakan dua sisi mata uang atau kembar dua sebagaimana penjelasan Sufi “Jika kejahilan (kebodohan) seseorang hilang yang akan tinggal ialah pengetahuan”.

Pada saat seorang Sufi telah mencapai hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dalam arti tidak disadarinya maka yang akan tinggal hanyalah wujud rohaninya dan ketika itulah ia dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam kajian Tasawuf, Abu Yazid al-Bustamilah (W. 874 M) yang dipandang sebagai Sufi pertama yang memunculkan faham Fana’ dan Baqa’.

Faham tersebut tersimpul dalam kata-katanya: “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup”. Selanjutnya ia pun mengungkapkan: “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup.......Aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup”

Kelihatannya Zunnun al-Misri baru sampai ke tingkat Ma’rifat sementara Abu Yazid al-Bustami telah melewati tingkat tersebut dan mencapai Fana’ dan Baqa’ seterusnya Ittihad, bersatu dengan Tuhan.

Dalam keadaan Hulul seorang Sufi dapat mengeluarkan kata-kata yang aneh dalam pendengaran awam, seperti yang diucapkan oleh al-Hallaj: “Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar)”. 

Dalam istilah Sufi ungkapan-ungkapan seperti ini disebut Syatahat. Munculnya istilah seperti ini disebabkan oleh rasa cinta yang berlimpah. Menurut faham Hulul al-Hallaj, sebenarnyalah yang mengeluarkan kata-kata tersebut bukan roh al-Hallaj, melainkan unsur an-nasut Allah yang sedang mengambil tempat bersatu dengan unsur al-lahut al-Hallaj. 

Bukan pula pada Zat Allah, melainkan unsur an-nasut-Nya yang mengambil tempat pada unsur lahut manusia. Hal ini terlihat dari ungkapan syairnya: “Aku adalah Rahasia Tuhan Yang Maha Benar, dan bukanlah yang Maha Benar itu Aku, Aku hanya satu dari yang benar, bedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”.

Dalam Hulul proses kemanunggalan Allah SWT dan manusia itu adalah Allah SWT turun mengisi dan memasuki serta mengambil tempat pada tubuh-tubuh manusia yang Ia pilih, sedangkan dalam Ittihad roh manusia naik (Mi’raj), lebur manunggal di alam Ketuhanan.

Memang mendalami dunia hakekat dapat menyebabkan seseorang menjadi sesat dan "syirik", sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah berkata : 

“Mencari Hakikat itu termasuk Syirik”. Sebagian ahli hakekat mengatakan :”Syarat kesempurnaan ibadat seorang hamba adalah mengetahui bahwa yang disembah itu tampak pada dirinya, kalau tidak demikian, maka ia tidak dapat menjadi penyembah yang sebenarnya, sebab ia dapat memasuki lautan syirik yang tersembunyi. 

Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi seorang penyembah karena ia menerima perintah dari-Nya Ta’ala dan Dia adalah yang disembah, karena segala sesuatu kembali kepada-Nya.

Ia juga harus mengetahui dan mengerti bahwa setiap kali ia menghadapi sesuatu apakah itu gambaran atau pengertian , ia mendapati al-Haq tampak padanya dan nyata olehnya dengan pengadaan dan penciptaan-Nya secara umum. Hal ini dapat dicapai setiap orang sesuai dengan kemampuannya dalam penerimaan penampakan itu secara khusus.

Sebagaimana Abu Yazid al-Bhustami menyatakan “ Aku adalah yang mencintai dan yang dicintai adalah Aku”. Abu Bakar al-Shiddiq berkata berkata “ Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sebelumnya”, Umar Ibn al-Khattab berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan sesudahnya”, Usman ibn Affan berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan bersamanya, Sedangkan Ali Ibn Abi Thalib berkata “Saya tidak pernah melihat sesuatu, kecuali melihat Tuhan di dalamnya. 

Perkatan para sufi dalam hal ini tujuannya sama. Adapun perbedaanya adalah terletak pada penyaksian perkataan mereka tersebut terhadap masing-masing dari mereka sesuai dengan tingkatan makrifatnya dalam kesufian.

Demikianlah Petikan dari beberapa kitab hasil karya Syech Yusuf Taj al-Makasari, semoga petikan ini dapat bermanfaat bagi para ahli suluk yang lagi berjalan menuju kehadllirat Allah SWT.

Nabi ﷺ bersabda :

أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ

Artinya: “Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah.

Kenalilah dirimu, sebagaimana Nabi ﷺ :

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.

🙏

center>


Sumber: IRFAN

ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN HUTANG KECUALI MEMPEROLEH RIDLO PIUTANG NYA.






”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

عَنْ اَبِى قَتَادَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللّٰهِ ﷺاَنَّهُ قَامَ فِيْهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ الْجِهَادَ فِى سَبِِيْلِ اللّٰهِ وَالْاِيْمَانِ بِاللّٰهِ اَفْضَلُ الْاَعْمَالِ، فَقَامَرَجُلٌ فَقَالَ: يٰارَسُوْلَ اللّٰهِ اَرَأَيْتَ اِنْ قُتِلتُ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ تُكَفَّرُعَنِّى خَطَاَيَاى، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ : نَعَمْ اِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ وَاَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ثُمَّ قَالَ رَسُوْلَ اللّٰهِ ﷺ : كَيْفَ قُلْتُ؟ قَالَ : اَرَاَيْتَ اِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ تُكَفَّرُعَنِّى خَطَايَاى؟ فَقَا رَسُوْلُ اللّٰه ﷺ : نَعَمْ وَاَنْتَ صَابِرٌمُحتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ اِلَّا الَّاالدَّيْنَ فَاِنَّ جِيْرِلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِى ذٰلِكَ (رَوَاهُ اَحْمَدُ وََمُسْلِمٌ وَالنَّسَاءى وَالتِّمِزِىُّ وَصَتَحَهُ وَلِاَحْمَدَ وَالنَّسَاءِى مِنْ حَدِيْثَ اَبى هُرَيْرَةَ مِثلُهُ).

Bersumber dari Abu Qatadah dari Rasûlullâh ﷺ bahwasanya beliau berdiri di tengah-tengah mereka lantas menuturkan kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada Allah adalah amal yang paling utama. Lantas seorang lelaki berdiri sambil berkata: “Wahai Rasûlullâh ﷺ, apa pendapatmu jika saya terbunuh di jalan Allah apakah dosa-dosaku bisa lebur? Maka Rasûlullâh bersabda kepadanya: “Ya, jika kamu terbunuh di jalan Allah sedangkan kamu dalam keadaan sabar dan mencari ganjaran menghadap dan tidak berpaling (lari) kemudian Rasûlullâh ﷺ bersabda: “Apa yang kau katakan“. Laki-laki itu berkata: “Apa pendapatmu jika saya terbunuh di jalan Allah apakah semua dosaku lebur? Maka Rasûlullâh bersabda kepadanya: “Ya jika kamu terbunuh di jalan Allah sedangkan kamu dalam keadaan sabar dan mencari ganjaran menghadap dan tidak berpaling (lari) kecuali hutang karena sesungguhnya Jibril a.s. telah berkata kepadaku akan hal itu.“ (HR. Ahmad, Muslim, Nasa'i, Turmudzi dan ia menshahihkannya).

عَنْ عَبْدِاللّٰهِ بْنِ عَمْرٍ وَاَنَّ رَسُوْتلَ اللّٰهِ ﷺ قَالَ، يَغْفِرُ اللّٰهُ لِلشَّهِدِ كُلَّ ذَنْبٍ اِلَّاالدَّيْنَ فَاِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَلَامُ قَتلَ لِى ذٰلِكَ (راوه اهّد و مسلم).

Bersumber dari Abdullah bin Umar r.a. katanya: “bahwasanya Rasûlullâh ﷺ bersabda: “Allah mengampuni orang yang mati syahid segala dosanya kecuali hutang maka sesungguhnya Jibril telah mengatakan hal itu kepadaku.“ (HR. Ahmad dan Muslim).

عَنْ اَنَسِ قَالَرَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ اَلْقَتْلُ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ يُكَفِّرُ كُلَّ خَطِايْـءَـةٍ، فَقَالَ جِبْرِيْلُ اِلَّاالدَّيْنَ فَقَاالنَّبِىُِّ ﷺ اِلَّاالدَّيْنَ (رواه الترمذي، وَقَالَـ حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ)

Bersumber dari Anas r.a. katanya: “Rasûlullâh ﷺ bersabda: “Terbunuh di jalan Allah dapat menghapus segala dosa, lantas Jibril berkata: “Kecuali hutang“. Lantas Nabi ﷺ bersabda: “Kecuali hutang“. (HR. Turmudzi dan ia berkata: “Ia adalah hadits hasan ghorib).

Hadits Abu Hurairah para tokoh isnadnya yang terdapat di dalam Sunan An Nasa'i adalah terpercaya dan telah memberikan isyarat kepadanya Imam Turmudzi seraya berkata setelah ia menceritakan hadits Abu Qatadah. Dan di dalam bab dari Anas dan Muhammad bin Jahasy dan Abu Hurairah.

Ucapan: “yang paling utama“ di dalam hadits ini terkandung dalil bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada Allah itu lebih utama daripada yang lain dari amal-amal baik yang lain, dan ia bertentangan pada zhahirnya dengan hadits yang telah disebutkan di depan dalam bab pertama dan penggabungannya sudah dijelaskan dengan keterangan yang telah lalu.

Ucapan: “Ya“, di dalamnya terkandung bahwa jihad dengan syarat jihadnya berada di jalan Allah disertai dengan niat mencari pahala dan tidak lari dari medan pertempuran dapat melebur semua dosa dan kesalahan, sehingga jadilah orang yang mati syahid berhak memperoleh ampunan umum kecuali hutang-hutang yang masih ada pada anak Adam maka sesungguhnya hutang itu tidak bisa memperoleh ampunan bagi orang yang mati syahid dan ia tidaklah bisa gugur dengan melulu kesyahidannya, yang demikian itu karena ia (hutang) hak Adam sedangkan gugurnya hanyalah dengan ridhanya (piutang) dan ikhtiarnya. Oleh karena itu Rasûlullâh ﷺ tidak mau mensholati orang yang masih mempunyai tanggungan hutang sebagaimana keterangan yang telah disebutkan di depan dalam bab Dlaman. Dan disamakan dengan hutang adalah apa saja yang merupakan hak bagi anak Adam yang berupa darah atau harta dengan cakupan bahwa masing-masing merupakan hak bagi anak Adam di mana hak itu akan bisa gugur dengan cara penggugurannya.

Ucapan: “Sesungguhnya Jibril telah berkata kepadaku akan hal itu“, barangkali jawaban dari Nabi ﷺ dengan ucapan “Ya“ adalah dengan tanpa pengecualian pada ijtihad. Kemudian tatkala Jibril memberi khabar kepadanya dengan apa yang telah diberitahukan maka Nabi mengulangi pertanyaannya kepada penanya, kemudian beliau memberi khabar kepada penanya bahwasanya pengecualian hutang tidaklah dari pihaknya, dan sesungguhnya ia adalah sebab perintah Allah kepadanya dengan hal itu.

Pengarang benar-benar telah mengambil dalil dengan beberapa hadits yang terdapat dalam bab bahwasanya tidak diperbolehkan bagi orang yang mempunyai hutang keluar untuk berjihad kecuali memperoleh izin orang yang mengutanginya karena hutang merupakan hak Adamiy sedangkan jihad adalah hak Allah. Dan seyogyanya disamakan dengan hal itu hak-hak Adamiy yang lain sebagaimana keterangan yang telah lalu karena tidak adanya perbedaan antara hak yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan segi pengambilan dengan hadits-hadits yang terdapat dalam bab didasarkan atas ketidak bolehan keluarnya orang yang dihutangi dengan tanpa mendapatkan izin dari piutangnya, bahwasanya hutang itu dapat mencegah buahnya mati syahid yaitu memperoleh ampunan secara, dan hutang itu dapat membatalkan buahnya jihad. Dan benar-benar telah memberikan isyarat pengarang kitab Al Baker kepada hal yang seperti itu seraya berkata: “Barangsiapa yang memiliki hutang yang harus dibayar seketika maka ia tidak boleh keluar kecuali memperoleh izin piutang karena adanya sabda Rasûlullâh ﷺ : “Ya kecuali hutang“.maka apabila kematian syahid itu terhalangi maka batallah buahnya jihad.“

Dan sudah tidak samar lagi bahwasanya tetapnya hutang dalam tanggungan orang yang mati syahid tidak dapat mencegah dari kematian syahid barang sedikitpun, bahkan ia adalah orang yang meninggal dunia dalam keadaan syahid dan diampuni dosa-dosanya kecuali hutang. Dan diampuninya dosa satu itu sah saja menjadikannya sebagai buah jihad lantas bagaimana dengan diampuninya segala dosa kecuali hanya satu dosa saja. Maka pendapat yang mengatakan bahwa buah mati syahid adalah terampuninya, semua dosa itu memang ditolak sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa tidak diampuninya satu dosa dapat mencegah syahadah (mati syahid) dan membatalkan buahnya jihad adalah ditolak juga. Puncak dari apa yang dikandung oleh beberapa hadits yang terdapat dalam bab adalah bahwa orang yang mati syahid akan diampuni segala dosanya kecuali dosa hutang. Bahkan orang yang berjihad yang paling dicintai ialah orang yang berjihad di mana jihadnya merupakan penyebab bagi terampuninya segala dosanya di mana ia meminta izin kepada pemilik hutang untuk keluar berperang, dan jika ia ridla dengan suatu gambaran tersisa baginya satu dosa baginya maka ia diperbolehkan keluar untuk berperang dengan tanpa meminta izin. Ini adalah jika hutangnya itu dibayar seketika. Adapun apabila hutangnya itu berjangka, maka dalam masalah itu terdapat dua pendapat, Al Imam Yahya berpendapat: “Menurut yang paling shahih mengatakan izinnya juga diperhitungkan juga karena hutang dapat mencegah kesyahidan (meninggal dunia secara syahid).“ Dan ada pendapat yang mengatakan tidak seperti keluar untuk keperluan berdagang." Pengarang kitab Al Baber berpendapat: “Dan sah menarik kembali izin sebelum berkecamuk perang karena kebenaran ada padanya bukannya sesudahnya karena ia mengandung wahan (kelemahan).

🙏



Sumber : Terjemah Kitab Nailul Authar.
Al Imam Muhammad Asy Syaukani.

KEBENARAN HANYA DATANG DARI ALLAH.





”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَـقَّ بِا لْبَا طِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَـقَّ وَاَ نْتُمْ تَعْلَمُوْنَ .

"Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya." (QS. Al-Baqarah: Ayat 42).

Allah SWT berfirman:

فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ الْحَـقُّ ۚ فَمَا ذَا بَعْدَ الْحَـقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ ۚ فَاَ نّٰى تُصْرَفُوْنَ

"Maka itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)?" (QS. Yunus : Ayat 32)

Allah SWT berfirman:

وَّلِيَـعْلَمَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ اَنَّهُ الْحَـقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوْا بِهٖ فَـتُخْبِتَ لَهٗ قُلُوْبُهُمْ ۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ.

"Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa (Al-Qur'an) itu benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepada-Nya. Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus." (QS. Al-Hajj: Ayat 54)

Hadits Nabi ﷺ :

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

Umar bin Khathab (datang) kepada Nabi ﷺ sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut. Nabi marah dan bersabda, “Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab? Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas. Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal, karena (mungkin, Red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran, akan tetapi kalian mendustakannya. Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku.“ (HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani).

🙏



DO'A SEORANG IBU.




”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Allah SWT berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا

"Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka)." (QS. Maryam: Ayat 96)

Berbuat baik pada ibu meliputi antara lain memperlakukannya dengan baik, menghormati, merendahkan diri, menaati selain dalam maksiat, dan meminta ridhanya dalam segala urusan. Bahkan dalam berjihad, jika jihadnya fardu kifayah, haruslah atas seizin ibu. Berbakti pada ibu juga merupakan jihad.

Di antara perhatian serta penghargaan Islam terhadap ibu dan hak-haknya adalah bahwa ia menjadikan ibu lebih berhak atas pengasuhan anak-anaknya daripada ayah. Seorang perempuan berkata kepada Rasûlullâh ﷺ

“Ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, dulu di perutku ia hidup, dari payudaraku ia menetek, dan di punggungku ia kugendong. Kemudian bapaknya menceraikanku dan bermaksud merebutnya dariku.” Nabi ﷺ berkata padanya: “Kamu lebih berhak atas anakmu itu selama kamu belum menikah” (HR Abû Dâwud).   

🙏




TAKWA





”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

Takwa. ... Istilah ini sering ditemukan dalam Al-Quran, Al-Muttaqin (Arab: لِّلْمُتَّقِينَ‎ Al-Muttaqin) yang merujuk kepada orang-orang yang bertakwa, atau dalam perkataan Ibnu Abbas, "orang-orang yang meyakini (Allah) dengan menjauhkan diri dari perbuatan syirik dan patuh akan segala perintah-Nya."

Allah SWT berfirman:

يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ .

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti." (QS. Al-Hujurat: Ayat 13)

Allah SWT berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَ نْـتُمْ مُّسْلِمُوْنَ .

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim." (QS. Ali 'Imran: Ayat 102)

Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ .

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran: Ayat 104)

🙏



BILA AKU CERITAKAN NISCAYA HALAL DARAHKU.

BILA AKU CERITAKAN NISCAYA HALAL DARAHKU.



”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.

  • Sangat sulit menjelaskan hakikat dan makrifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syariat saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah SAW memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari Allah SWT. Hapalan tetap lah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak akan mampu menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah Qadim sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil yang anda miliki maka saya memberikan garansi kepada anda: PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.

Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebuat Qatamallahu ‘ala Qukubihum (Tertutup mata hati mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.

Rasulullah SAW menggambarkan Ilmu hakikat dan makrifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”. Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :

“Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seorangpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy)

Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu Dzikir kepada Allah dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.

Masih ingat kita cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan makrifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu syariat yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.

Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut :

“Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebar luaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)

Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat? Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat nabi saja tidak diizinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Nabi, dari Nabi izin itu diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini.

Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait dzikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syariat semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat adalah Bid’ah dlolalah. Tentang pembelaan dari Ahli Thariqat dapat anda baca disini

Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas diingkari oleh syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan intisari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu intisari dari Ilmu Syari’at.

Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan taslim dan tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat.

🙏

”Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu”. (HR. Bukhari-Muslim).


Sumber: www.sufimuda.net

TAWADLU'/RENDAH HATI. ”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. وَعِبَا دُ الرَّحْمٰنِ الَّذِ...